Minggu, 03 Januari 2016

PSIKOLOGI KONVERGENSI


 Jamaludin Darwis mendefinisikan teori konvergensi secara bahasa yaitu berasal dari bahasa Inggris dari kata verge yang artinya menyatu, mendapat awalan con yang artinya menyertai, dan mendapat akhiran ance sebagai pembentuk kata benda. Sedangkan secara istilah konvergensi mengandung arti perpaduan antara entitas luar dan dalam, yaitu antara lingkungan sosial dan hereditas. kamus Inggris Convergence yang artinya pertemuan pada satu titik. dalam kamus psikologi yang dimaksud aliran konvergensi adalah interaksi antara faktor hereditas dan faktor lingkungan dalam proses perkembangan tingkah laku.
Sumadi Surya Brata menegaskan teori konvergensi yaitu bahwa dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memainkan peranan penting, bakat kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang.
Jadi Menurut aliran ini, hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan. Sebaliknya, rangsangan lingkungan tidak akan membina perkembangan tingkah laku baik tanpa didasari oleh faktor hereditas. Penentuan kepribadian seseorang ditentukan oleh kerja yang integral (potensi bawaan) maupun faktor eksternal (lingkungan).
Teori konvergensi ini dipelopori oleh William Lois Stern (1871-1936), Stern adalah salah satu pelopor dari psikologi modern dan perannya terletak dalam kemampuannya untuk menyatukan teori-teori yang saling bertentangan untuk menerangkan tingkah laku, yaitu antara aliran nativisme dan aliran empirisme. Beliau lahir di Jerman di kota Berlin pada tanggal 29 April 1871. tetapi meninggal di Amerika Serikat yaitu di Durham, North California pada tanggal 27 Maret 1938.
Aliran konvergensi lahir dikarenakan adanya perbedaan pendapat tentang dua faktor yang mempengaruhi perkembangan akhlak anak, yaitu faktor hereditas (keturunan) dan Milliu (lingkungan). Para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi dan lain-lainya, memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan: perkembangan manusia itu bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan? Atau dengan kata lain dalam perkembangan anak muda hingga menjadi dewasa dibawa dari keturunan (pembawaan) ataukah pengaruh-pengaruh lingkungan? maka dari dua faktor itu timbul tiga aliran, yaitu:
1.      Aliran Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”.

2.      Aliran Naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin dari kata nature artinya, alam, tabiat. Dan pembawaan, aliran ini juga dinamakan negativisme ialah aliran yang meragukan pendidikan untuk perkembangan seseorang karena dia dilahirkan dengan pembawaan yang baik. Menurut Ngalim Purwanto aliran Naturalisme adalah pada hakekatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh pendidikan itu baik, akan menjadi baiklah ia; akan tetapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya.
Pelopor aliran Naturalisme adalah J. J Rousseu seorang naturalis filosuf bangsa Perancis yang hidup dalam tahun 1712-1778. Dia berpendapat bahwa semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pencipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia. Oleh karena itu, sebagai pendidik Rousseau mengajukan pendidikan alam artinya, anak hendaklah dibiarkan tumbuh berkembang sendiri menurut alamnya; manusia atau masyarakat jangan banyak menyampurinya.
3.      Aliran Empirisme
Teori empirisme berasal dari kata empiris, berarti pengalaman. Jadi teori ini mempunyai maksud bahwa perkembangan itu semata-mata tergantung kepada faktor lingkungan saja. Aliran empirisme ini mengasumsikan bahwa anak yang baru lahir itu seperti kertas yang masih bersih (tabularasa). Sehingga perkembangan anak itu, baik buruknya ditentukan oleh faktor lingkungan saja, sedangkan faktor bawaan tidak berpengaruh. Jadi lingkungan di mana anak itu hidup adalah faktor terpenting yang membentuk kepribadian anak tersebut.
Aliran empirisme ini ternyata tidak tahan uji, dalam arti aliran ini tidak dapat menjawab masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat, hal ini di contohkan dalam kehidupan sehari-hari perlakuan dalam proses pendidikan yang kita ajarkan kepada murid satu kelas, dengan lingkungan yang sama tetapi tingkat pemahaman anak terhadap materi yang kita ajarkan itu berbeda-beda.
Jadi aliran konvergensi adalah aliran yang menggabungkan dua aliran di atas (Nativisme dan Empirisme), Konvergensi adalah interaksi antara faktor hereditas dan faktor lingkungan dalam proses perkembangan tingkah laku. Menurut aliran ini hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan, sebaliknya rangsangan dari lingkungan tidak akan membina perkembangan tingkah laku anak yang idial tanpa di pengaruhi oleh faktor hereditas. Ada beberapa percobaan untuk memperkuat teori ini yaitu :
Dua anak kembar identik, yang mempunyai bakat yang persis sama, didikan dan dibesarkan dalam keluarga dengan lingkungan yang berbeda, akan mengembangkan sifat-sifat yang juga berbeda.
Seorang dengan taraf kecerdasan yang tergolong terbelakang, diberi didikan yang sistematis untuk menguasai pelajaran-pelajaran sekolah menengah. Sampai akhir percobaan itu, orang tersebut tidak menunjukkan kemajuan berarti.
Terbukti dari kedua percobaan di atas bahwa lingkungan ada pengaruhnya terhadap perkembangan seseorang, tetapi dalam batas pembawaan yang ada. Pada intinya bahwa lingkungan dan pembawan sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan seseorang. Hal tersebut dibenarkan oleh Abdul Mujib bahwa penentuan kepribadian seseorang ditentukan oleh kerja yang integral antara faktor internal (potensi bawaan) maupun faktor eksternal (lingkungan pendidikan).
Menurut Elizabeth B. Hurlock, baik faktor kondisi internal maupun faktor kondisi eksternal akan dapat mempengaruhi tempo/kecepatan dan sifat atau kualitas perkembangan seseorang. Tetapi sejauh mana kedua faktor tersebut sukar untuk ditentukan, lebih-lebih lagi untuk dibedakan mana yang penting dan kurang penting.
Paham konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun lingkungan memainkan peranan perting. Realitas menunjukkan bahwa warisan yang yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan kependidikan yang baik tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, walaupun lingkungan pendidikan itu baik, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal juga. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Misalnya: Tiap manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri tegak atas kedua kaki, bakat ini tidak aktual (menjadi kenyataan) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak yang semenjak kecilnya diasuh oleh monyet maka ia tidak akan berdiri tegak diatas kedua kakinya, mungkin dia akan berjalan dia akan berjalan diatas tangan dan kakinya (jadi seperti monyet).

Hukum Perkembangan
Suatu konsepsi yang biasanya bersifat deduktif dan menunjukkan adanya hubungan yang ajeg(continue) serta dapat diramalkan sebelumnya antara variabel-variabel yang empirik, hal itu lazimnya disebut sebagai hukum perkembangan.

Hukum-hukum perkembangan tersebut antara lain :
1.      Hukum Tempo Perkembangan. Bahwa perkembangan jiwa tiap-tiap anak itu berlainan, menurut temponya masing-masing perkembangan anak yang ada. Ada yang cepat (tempo singkat) adapula yang lambat. Suatu saat ditemukan seorang anak yang cepat sekali menguasai ketrampilan berjalan, berbicara,tetapi pada saat yang lain ditemukan seorang anak yang berjalan dan berbicaranya lambat dikuasai. Mereka memiliki tempo sendiri-sendiri.
2.      Hukum Irama Perkembangan. Hukum ini mengungkapkan bukan lagi cepat atau lambatnya perkembangan anak, akan tetapi tentang irama atau rythme perkembangan. Jadi perkembangan anak tersebut mengalami gelombang “pasang surut”. Mulai lahir hingga dewasa, kadangkala anak tersebut mengalami juga kemunduran dalam suatu bidang tertentu. Misalnya , akan mudah sekali diperhatikan jika mengamati perkembangan pada anak-anak menjelang remaja. Ada anak yang menampakkan kegoncangan yang hebat, tetapi adapula anak yang melewati masa tersebut dengan tenang tanpa menunjukkan gejala-gejala yang serius.
3.      Hukum Konvergensi Perkembangan. Pandangan pendidikan tradisional di masa lalu berpendapat bahwa hasil pendidikan yang dicapai anak selalu di hubung-hubungkan dengan status pendidikan orang tuanya. Menurut kenyataan yang ada sekarang ternyata bahwa pendapat lama itu tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pandangan lama ini dikuasai oleh aliran nativisme yang dipelopori Schopen Hauer yang berpendapat bahwa manusia adalah hasil bentukan dari pembawaan.
4.      Hukum Kesatuan Organ. Tiap-tiap anak itu terdiri dari organ-organ tubuh , yang merupakan satu kesatuan diantara organ-organ tersebut antara fungsi dan bentuknya, tidak dapat dipisahkan berdiri integral. Contoh : perkembangan kaki yang semakin besar dan panjang , mesti diiringi oleh perkembangan otak, kepala, tangan dan lain-lainnya.
5.      Hukum Hierachi Perkembangan. Bahwa perkembangan anak itu tidak mungkin akan mencapai suatu phase tertentu dengan spontan, akan tetapi harus melalui tingkat-tingkat atau tahapan tertentu yang tersusun sedemikian rupa sehingga perkembangan diri seorang menyerupai derajat perkembangan. Contoh : perkembangannya pikiran anak, mesti didahului dengan perkembangan pengenalan dan pengamatan.
6.      Hukum Masa Peka. Masa peka ialah suatu masa yang paling tepat untuk berkembang suatu fungsi kejiwaan atau fisik seseorang naka. Sebab perkembangan suatu fungsi tersebut tidak berjalan secara serempak antara satu dengan lainnya. Contoh : masa peka untuk berjalan bagi seorang anak itu pada awal tahun kedua dan untuk berbicara sekitar tahun pertama. Istilah peka pertama kali ditampilkan oleh seorang ahli biologi dari Belanda bernama Hugo de Vries (1848-1935), kemudian istilah tersebut dibawa kedalam dunia pendidikan, khussusnya psikologi oleh Maria Montessori (Italia 1870-1952).
7.      Hukum Mengembangkan Diri. Dorongan yang pertama adalah dorongan mempertahankan diri, kemudian disusul dengan dorongan mengembangkan diri. Dorongan mempertahankan diri terwujud misalnya dorongan makan dan menjaga keselamatan diri sendiri. Contoh : * Anak menyatakan perasaan lapar, haus , sakit dalam bentuk menangis maka tangisan itu dianggap sebagai dorongan mempertahankan diri.* Seorang anak yang ingin menjadi juara, pandai dan sukses.
8.      Hukum Rekapitulasi. Perkembangan jiwa anak adalah ulangan kembali secara singkat dari perkembangan manusia di dunia dari masa berburu hingga masa industri. Teori ini berlangsung dengan lambat secara berabad-abad. Jika pengertian rekapitulasi ini ditransfer ke psikologi perkembangan, dapat dikatakan bahwa perkembangan jiwa anak mengalami ulangan ringkas dari sejarah kehidupan umat manusia.



PEMILU DI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Proses pendewasaan demokrasi di Indonesia telah melalui masa 10 tahun sejak tahun 1999 dan dalam perjalanannya telah melewati berbagai proses yang penuh dengan dinamika kehidupan demokrasi. Pelaksanaan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR-RI, DPRD Provinsi, & DPRD Kab/Kota telah dilalui sebanyak 3 kali dengan 4 Presiden yang berbeda pasca pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam periode 10 tahu ke belakang telah banyak perubahan yang dialami Negara   Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan proses demokratisasi, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, kebebasan pers, pemisahan yang jelas antara militer dan sipil, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. Salah satu perubahan yang sangat penting sejak Reformasi adalah munculnya berbagai partai politik sebagai salah satu wujud kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul yang menjadi satu ciri utama Negara yang menjalankan sistem demokrasi.
Kebanyakan Negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilu yang dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan sudah cukup mewakili partisipasi dan merupakan aspirasi masyarakat. Disadari bahwa pemilu bukan merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapai dengan pengukuran kegiatan lainnya yang bersifat berkesinambungan.
Dinegara   dunia ketiga beberapa kebebasan seperti yang dikenal didunia barat kurang diindahkan. Dalam karangannya Budiardjo (2009:461) mengungkapkan dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a. Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
b.  Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberap wakil; biasanya dinamakan sistem sistem perwakila berimabng atau sistem proporsional).
Pemilu merupakan sarana pengamalan demokrasi. Dapat dikatakan tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Walaupun begitu, pemilu bukanlah tujuan, akan  tetapi hanya sebagai sarana untuk memilih anggota  parlemen dan pemimpin eksekutif di pusat dan daerah. Adapun tujuan kita berbangsa dan bernegara   adalah antara lain  untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

1.2    Rumusan Masalah
Adapaun mengenai rumusan masalah dalam penulisan makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana Lembaga penyelenggara pemilu?
2.      Bagaimana Sistem pemilihan umum di Indonesia?
3.      Bagaimana Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemilu ?
4.      Bagaimana Pelaksanaan Pemilihan Umum?

1.3    Tujuan Makalah
Adapun tujuan dan manfaat penulisan makalah ini antara lain:
1.        Mengetahui Lembaga penyelenggara pemilu.
2.        Mengetahui Sistem pemilihan umum di Indonesia.
3.        Mengetahui Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemilu .
4.        Mengetahui Pelaksanaan Pemilihan Umum.






BAB II
PEMBAHASAN

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPRDPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
2.1    Lembaga penyelenggara pemilu
Di Negara Indonesia lembaga penyelenggara pemilu adalah KPU yaitu komisi pemilihan umum yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu baik pemilu tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara   Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan.
Tugas dan wewenang KPU tersebut antara lain:
·       Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
·       Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
·       Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
·       Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
·       Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
·       Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
·       Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 2004 dan 2009. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum  1995 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan disbanding dengan yang lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacum, melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan itu sendiri. Dari pemilu-pemilu tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan yang cocok untuk Indonesia.

2.2    Sistem pemilihan umum di Indonesia
Budiardjo (2009:477), perkembangan sistem pemilihan umum di Indonesia dapat disimpulkan, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR. Yang kedua ketentuan didalam UUD 1945 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi gejala sering terjadinya pergantian kabinet seperti zaman demokrasi parlementer.
Secara keseluruhan sistem pemilu di Indonesia  pada tahun 1955 menggunakan sistem proporsional yakni jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Setiap 300.000 penduduk diwakilkan oleh 1 anggota DPR. Calon yang terppilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (bilangan pembagi pemilih daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai dengan BPPD, suara yang diberikan kepada partai yang akan menentukan.
Kemudian sistem pemilu tahun 1955 sampai dengan tahun 1999 menggunakan sistem proprsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih hanya memberikan suara hanya kepartai dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Pada pemilihan tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
Pada pemilu tahun 2004 ada satu lembaga didalam legislatif yaitu DPD (dewan perwakilan daerah) untuk pemilihannya menggunakan sistem distrik tetapi dengan wakil 4 kursi untuk setiap provinsi dan pesertanya adalah individu. Untuk pemilihan anggota DPR dan PDRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih yang memberikan suaranya kepada partai, calon pada urutan pertama mendapatkan peluang yang cukup besar untuk terpilih. Dari sudut pandang gender pemilu tahun 2004 secara tegas memberikan peluang lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU no. 12/2003 menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk setiap daerah pemilihan.
Ada juga upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi partai yang akan menjadi peserta pemilu. Ada sejumlah syarat baik administratif maupun substansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk dapat menjadi peserta pemilu. Syarat tersebut antara lain ditentukannya electoral threshold dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi dari anggota badan legeslatif pusat, memperoleh minimal 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar paling tidak setengah jumlah provinsi di Indonesia, atau minimal memperoleh 4 % dari jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar disetengah jumlah  kabupaten di Indonesia. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.

2.3    Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemilu
Dalam analisis politik modern partisispasi politik meruapakan suatu maslaah yang penting dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan Negara berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy).
Setiap perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabill. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Partisipasi politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan, atau juga dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang mereka nilai baik juga. Partispasi ini mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu.
Sebagai masyarakat yang bijak kita harus turut serta dalam proses prmilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih.

Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Peningkatan partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam proses memilih anggota legislatif dan eksekutif. Karena bagaimanapun masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam proses pemilihan umum dimana masyarakat sebagai pemilih yang menentukan dalam pemenangan dalam proses pemilihan umum tersbut. Akan tetapi beberapa tahun terakhir partisipasi masyarakat akhir-akhir ini menurun karena disebabkan banyak faktor. Sudah menjadi tanggungjawab bersama bagaimana upaya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemilu sebagai proses demokratisasi yang sudah berjalan di Indonesia
Lembaga penyelenggara pemilu sudah berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum agar masyarakat mau memberikan hak suaranya dalam proses pesta demokrasi tersebut. Komisi pemilihan umum sebagai lemabaga penyelenggara pemilihan umum  di Indonesia sudah banyak strategi yang dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum diantaranya memberikan pendidikan pemilih (vote education). Kegiatan ini tidak hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu, namun bisa juga dilaksanakan oleh semua elemen bangsa ini, karena pemilu itu yang menentukan nasib bangsa, dalam menentukan wakil rakyat diparlemen dan pemimpin bangsa baik ditingkat pusat maupun di daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bagaimana tata cara dan peran masyarakat dalam pemilu dengan demikian masyarakat akan mengerti peran meraka dalam pesta demokrasi tersebut.
Selain memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat, pendidikan pemilu juga bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai demokrasi dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan terselenggaranya pemilu dan pemilukada. Selain itu kegiatan tersebut juga bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu yang berkualitas dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik.
Selain berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemilihan pemilu, komisi pemilihan umum juga berusaha menarik minat pemilih pemula untuk turut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Partisipasi pemilih pemula sangat penting sebagai pembelajaran untuk berpartisipasi dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Selain menarik minat, memberikan pemahaman dan pendidikan kepada pemilih pemula merupakan langkah yang sangat penting sehingga mereka tidak akan sembaranagn dalam menentukan pilihannya. Di Indonesia sendiri, pemilih dengan kisaran usia 17-21 tahun yang berstatus pelajar dan mahasiswa ini selalu menjadi topik, sehingga komisi pemilihan umum berupaya bagaimana caranya supaya mereka berpartisipasi secara aktif dalam Pemilu. Semua pihak setuju dan tidak mau kalau pemilih pemula tidak memiliki pendirian politik, atau suaranya malah mengambang dalam Pemilu.
Agar supaya sistem demokrasi semakin baik, dibutuhkan partisipasi semua pemilih, khususnya partisipasi pemilih pemula, hingga level partisipan bahkan level subjek.  Pada kedua level ini, pemilih sudah sangat paham dan aktif terlibat pada semua tahapan pemilihan umum.
Strategi yang dilakukan lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah dalam menaraik minta pemilih pemula yang notabene masih muda maka strategi yang digunakanpun harus tidak jauh dari aktifitas positif anak muda. Misalnya saja lembaga pemilihan umum menyelenggarakan pertemuan pelajar dan mahasiswa dalam sebuah seminar terkait pendidikan pemilihan umum atau mengadakan pertemuan komunitas pemuda. Dengan melalu pendidikan politik kepada pemilih pemula maka diharapkan pemilih pemula benar-benar turut berpartisipasi dalam pemilihan umum bukan hanya sekedar datang ke TPS dan mencoblos karea sebagai pengalaman pertama bagi mereka.

2.4    Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pemilu merupakan sarana pengamalan demokrasi. Dapat dikatakan tidak ada demokrasi, tanpa pemilu. Walaupun begitu, pemilu bukanlah tujuan. Ia hanya sebagai sarana untuk memilih anggota  parlemen dan pemimpin eksekutif di pusat dan daerah. Adapun tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuangdalam pembukaan UUD 1945.
Secara teknis penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan oleh komisi pemilihan umum sebaga lembaga penyelenggara pemilihan umum yang dibentuk pemerintah. Selain KPU, kesuksesan penyelenggaraan pemilahan umum juga harus mendapatkan dukungan dari masyarakat sebagai faktor penting dalam proses pemilihan.
Salah satu proses pelaksanaan pemilihan umum salah satunya adalah kampanye. Kampanye merupakan proses menarik simpatisan pemilu sebagai proses menarik perhatian simpatisan untuk mau memilih salah satu calon dalam pemilihan umum tersebut. Banyak cara yang dilakukan dalam masa kampanye untuk menarik simpatisan sebanyak mungkin. Pada umumnya tim sukses menggunakan hiburan rakyat sebagai daya tarik tersendiri agar semakin banyak simpatisan yang datang dengan harapan mereka mau memilih calon yang diunggulkan. Akan tetapi cara tersebut pada masa sekaran ini kurang begitu efektif karena tidak sedikit simpatisan yang datang hanya karena hiburannya bukan karena ingin memilih calon tersebut.
Budaya kampanye pada beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran yang tadinya mengumpulkan masa di suatu tempat kini berubah dengan berkampanye dengan gaya “blusukan”. Hal ini tidak terlepas dari kesuksesan Calon gubernur DKI Jakarta jokowi yang berhasil menarik perhatian masyarakat. Sebenarnya hal ini juga tidak terlepas dari ketokohan yang dimiliki calon sebagai daya tarik untuk menarik perhatian masyarakat sehingga masyarakat akan benar-benar memilih calon tersebut.

Permasalahan dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan tidak menutup kemungkinan terjadi permasalahan dalam kegiatan tersebut meskipun presentasinya sangat kecil. Seperti halnya dalam pproses pelaksanaan pemilihan umum juga mengalami berbagai permasalahan yang dihadapi. Beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pemilihan umum tersebut anatara lain:
a. Biaya yang mahal
Diakui bahwa pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia masih sangat mahal hanya untuk menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut. Hal ini dikarenakan proses pemilihan umum di Indonesia masih manual. Berbeda dengan Negara   maju yang dalam proses pemiliohan umum sudah menggunakan teknologi canggih sehingga pelaksanaannya dapat lebih efisien dan efektif. Misalnya saja biaya pemilihan umum walikota palangka raya yang menhabiskan dana mencapai total angka Rp. 19,4 miliar lebih dengan rincian 10.3 M untuk putaran pertama, dan jika terjadi pemungutan suara putaran kedua telah disiapkan dana sebesar Rp. 5.7 M. Disamping itu, Pemko juga telah mempersiapkan anggaran jika terjadi Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebesar Rp. 3.5 M. “KPU Kota Palangka Raya tidak mau berspekulasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan nanti, sehingga kami mengusulkan agar disiapkan anggaran untuk mengantisipasi jika terjadi PSU.
b. Golput
Golput atau golongan putih merupakan permasalahan yang sangat krusial karena merupakan permasalahan yang sangat sulit dipecahkan. Dari sudut pandang hak asasi manusia ini merupakan hal yang tidak dilarang oleh pemerintah Indonesia, berbeda dengan Negara  -negara   maju, warga Negara   yang tidak mau menggunakan hak pilihnya akan dikenakan sanksi misalnya di Negara   Australia dan Cina.
c. Penetapan daftar pemilih tetap
Permasalahan ini biasanya terjadi pada pemilih pemula yang belum memiliki KTP atau pemilih yang baru pindah dari daerah satu kedaerah lain sehingga dama mereka tidak tercantum dalam DPT. Persoalan ini harus diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah karena ini dapat emnghambat hak seseorang untuk dapat brepartisipasi dalam pemilu. Salah satu terobosan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan membuat E-KTP Nasional yang dapat digunakan di setiap daerah. Dengan demikian hak seseorang untuk turut serta dalam pesta demokrasi tidak akan terhambat lagi.

Pelanggaran dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum
Setiap pelaksanaan pemilihan umum pada umumnya pemilukada sudah bukan hal yang tabu bahwa pasti ada pelanggaran dalam pelaksanaan pemilihan umum tersebut yang tidak sedikit dapat menimbulkan konflik berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak bahkan masyarakat juga terkena dampaknya. Misalnya saja yang baru saja terjadi diwilayah Kalimantan tengah, tepatnya dikabupaten Kotawaringin Barat terjadi konflik karena berawal dari sengketa pemilu yang dimana salah satu pasngan melakukan pelanggran pemilu. Terkait pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu, maka penulis merangkum beberapa pelanggaran pemilu yang sering terjadi di beberapa daerah, antara lain:


a. Kampanye hitam
Kampanye hitam Yaitu kampanye yang bersifat menjelek-jelekkan calon lain, mengadu domba, memfitnah, menyebarkan berita bohong, menghasut, mengajak untuk tidak memilih calon lain, mengajak untuk tidak memilih calon yang tidak seiman. Hal demikian sangat dilarang karena dapat merugikan calon lain. Selain dapat merugikan calon lain, kampanye seperti ini sangat tidak mendidik masyarakat untuk menjadi lebih cerdas dalam bersikap bijak dalam pemilihan umum.
b. Money politic (politik uang)
Permasalahan pelanggran pemilu yang satu ini sudah seperti menjadi budaya karena terlalu banyak calon yang melakukan hal ini. politik uang juga merupakan tindakan yang tidak adil karena hanya akan menguntungkan bagi calon yang memiliki harta banyak. Selain itu hal ini tidak memberikan pendidikan yang baik terhadap masyarakat dan cenderung membodohi masyarakat. Masyarakat harus lebih bijak dalam menyikapi hal ini Karena kebijakan selama satu periode tidak cukup terbayar dengan “serangan fajar” yang hanya berisi Rp. 50.000,- saja.
c. Kampanye yang tidak sesuai jadwal
Meskipun KPU sudah merancang jadwal kampanye bagi setiap pasangan calon, tetapi masih ada saja pasangan calon yang curi start dalam pelaksanaan pemilu hal ini tentu sangat merugikan bagi pasangan lain. Selain itu hal tersebut rawan terjadi konflik karena banyaknya simpatisan yang berpotensi bentrok jadwal karena bertemu dijalan dan lain sebagainya. Selain kampanye tidak sesuai jadwal, banyak juga pasangan calon yang berkampanye di saran peribadatan dan saran pendidikan yang sudah jelas-jelas dilarang.
d. Intimidasi
Intimidasi pada masa kampanye merupakan hal terlarang karena hal ini sagat bertentangan dengan hak asasi manusia. Pelanggran ini biasanya berbentuk ancaman, tindak kekerasan, salah satu pasangan calon. Selain itu tindak pelanggaran ini juga bisa merusak/menghilangkan alat peraga pasangan lain.

e. Menggunakan fasilitas Negara 
Pelanggaran ini biasanya dilakukan oleh calon pasangan incumbent yang masih memiliki jabatan penting dalam pemerintahan. Hal paling sering dilakukan dengan menggunakan fasilitas Negara   adalah intimidasi terhadap pegawai sampai dengan menggunakan anggaran Negara  .






























BAB V
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Negara yang demokratis memiliki keunggulan tersendiri karena dalam setiap pengambilan kebijakan mengacu pada aspirsi masyarakat. Masyarakat yang sebagai tokoh utama dalam sebuah Negara   demokrasi memiliki peranan yang sangat penting. Salah satu peranan masyarakat dalam Negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam politik dalam hal ini pemilihan umum. Masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan eksekutif dan legislatif baik dipemerintah pusat maupun daerah. Oleh karena itu perlu pendidikan politik yang harus diketahui oleh masyarakat agar pada saat pelaksaan pesta demokrasi tidak asal pilih dan hanya ikut-ikutan saja. Pendidikan politik yang baik akan menciptakan masyarakat yang cerdas sehingga mereka tidak akan salah pilih dalam memilih pemimpin atau wakil mereka. Dengan demikian keinginan dan harapan masyarakat dapat tersalurkan dan dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

3.2    Saran
Berdasarkan dari uaraian diatas maka penulis merekomendasikan beberpa hal berikut sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran bersama. Adapun rekomnedasi tersebut adalah:
1. Indonesia diharapkan menjadi Negara   yang sejahtera dengan meningkatkan kebijakan politik yang pro rakyat dan penegakan hukum yang adil.
2. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengerti permaslahan terkait politik dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan politik termasuk pemilihan umum.
3. Peran pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam.2009.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta.PT. Gramedia Pustaka Utama
Detiknews.com_angka-golput-di-medan-dalam-pilgub-sumut-mencapai-63,38- persen.htm (diakses 12/4/2013)
Hazim, Nur Kholit.2004.Kamus Lengkap bahasa Indonesia.Surabaya.Terbit Terang
KPU kubu raya_ seminar-peningkatan-peran-serta-masyarakat-dalam-pemilu-dan- pemilukada.htm (diakses 12/4/2013)
Media center KPU jawa barat_ pemilih-pemula.html (diakses 12/4/2013)
Nawawi, Hadari.2007.Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta.Gajah Mada University Press
Novia, Windy.2009.Kamus Ilmiah Populer.WIPRESS
Okezonenews.com_ antisipasi-golput-mendagri-usul-pilkada-digelar-hari-kerja.htm (diakses 10 Maret 2013)
Partisipasi Masyarakat dalam Politik sebagai Implementasi Nilai-nilai Demokrasi di Indoneisa _febrisartika257.htm (diakses 10 Maret 2013)